Thursday, September 6, 2007

Konfrerensi khilafah Internasional di Jakarta 2007

GAGASAN USANG NEGARA SEKULER AN-NA'IM
Oleh : Farid Wadjdi
Bulan Juli-Agustus ini diskursus relasi Islam dan Negara, tampaknya semakin menghangat. Moment pentingnya adalah diselenggarakannya Konfrensi Khilafah Internasional di Stadion Utama Senayan Jakarta tanggal 12 Agustus nanti. Ada pesan yang jelas dari konfrensi ini tentang kewajiban umat Islam untuk menerapkan syariah dan Khilafah. Entah kebetulan atau tidak, pada bulan Juli-Agustus ini, diluncurkan buku Islam dan Negara Sekuler langsung dihadiri oleh penulisnya Prof. Abdullahi Ahmed An Na’im. Pesan jelas dan tegas dari buku yang dibiayai oleh Ford Foundation ini adalah penolakan syariah Islam oleh negara. An Na’im pun keliling Indonesia menawarkan gagasannya mulai dari Jakarta, Aceh, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, hingga Makassar.
Di Bandung acara ini digelar di hotel Le Aries Garden Hotel pada Senin 30 Juli 2007. Adapun sebagai pembicara utama adalah Prof. Abdullahi Ahmed an Na’im sendiri. Sementara pembahas buku Dr Brian Yuliarto (Salman ITB) dan Farid Wadjdi mewakili Hizbut Tahrir Indonesia . Acara yang dihadiri oleh kalangan intelektual, aktivis Islam Bandung, berjalan hangat.
Dalam paparan awalnya, An Na’im menyatakan syariah pasti memiliki masa depan yang cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam karena dapat berperan dalam menyiapkan anak-anak untuk hidup bermasyarakat, membina lembaga, dan berhubungan sosial. Syariah akan terus memainkan peran penting dalam membentuk dan mengembangkan norma-norma dan nilai-nilai etika yang dapat direfleksikan dalam perundangan- perundangan dan kebijakan publik melalui proses politik yang demokratis.
Namun prinsip-prinsip atau aturan-aturan syariah tidak dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh negara sebagai hukum dan kebijakan publik dengan alasan bahwa prinsip-prinsip dan aturan-aturan itu merupakan bagian dari syariah. Apabila pemberlakuan syariah seperti itu diusahakan, hal itu merupakan kehendak politik negara dan bukan hukum Islam.
Masih menurut An Na’im, negara haruslah bersikap netral terhadap doktrin atau prinsip agama mana pun. Netralitas di sini tidak berarti negara secara sengaja memojokkan peran agama ke bilik-bilik sempit kehidupan privat, melainkan semata-mata demi menjamin kebebasan setiap individu untuk mendukung, berkeberatan, atau memodifikasi setiap penafsiran manusia atas doktrin atau prinsip-prinsip agama.
Dia juga meng-advokasikan prinsip pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara, namun dengan tetap mempertahankan hubungan antara Islam dan politik, melalui apa yang disebutnya sebagai public reason. Prinsip ini memungkinkan penerapan prinsip-prinsip syariah dalam kebijakan publik secara legitimate, namun tetap tunduk kepada prinsip-prinsip ketatanegaraan yang berlaku, serta menjamin kesetaraan hak setiap warga negara tanpa membedakan agama, ras, suku, gender, dan ideologi politik.
Dalam kesempatan itu, saya mengkritisi gagasan utama An Na’im antara lain tentang negara harus netral, syariah tidak bisa secara formal diterapkan oleh negara, dan masalah pendekatan sejarah dalam memahami Islam.
Benarkah Ada Negara yang Netral ?
Ide an Na’im tentang netralitas negara tampak paradoks dengan gagasannya bahwa prinsip demokrasi, hak asasi manusia, pemisahan kekuasaan, dan hukum internasional harus menjadi patokan dalam pengambilan keputusan. Menurutnya, Keputusan dalam praktiknya akan dibuat oleh suara mayoritas yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, seluruh tindakan negara juga harus selaras dengan perisai-perisai konstitusionalisme dan hak asasi manusia yang melawan tirani mayoritas (hlm 59), termasuk hak menentukan nasib sendiri bisa dilakukan dalam kerangka kerja pemerintah yang konstitusional, demokratis, dan hukum internasional (hlm 57).
Letak paradoksnya di satu sisi dia menyatakan negara harus netral, di sisi lain dia menyatakan negara harus tunduk pada prinsip demokrasi, HAM, maupun trias politik. Kewajiban negara tunduk pada prinsip tersebut menunjukkan negara tidaklah netral. Karena ide demokrasi, HAM, trias politik, bukanlah ide netral, tapi bersumber dari ideologi Kapitalisme-sekuler. Pertanyaannya, kenapa negara harus netral dari agama tapi tidak netral dari nilai-nilai Kapitalisme sekuler ? Sesungguhnya, tidak ada negara yang netral, karena negara pastilah dibangun oleh ideologi tertentu dan akan memihak dan mempertahankan ideologi tersebut.
HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA
Pesan jelas Na’im dalam bukunya adalah negara tidak boleh menerapkan syariah Islam. Sayangnya, gagasannya dibangun atas dasar kerancuan dan kesalahpahaman tentang relasi Islam dan Negara terutama konsepsi Islamic State (Negara Islam). Menurutnya dalam negara Islam, kebijakan negara berdasarkan prinsip "sabda Tuhan" akan sulit untuk melawan atau mengubah penerapannya dalam kehidupan praktis. Pandangan Na’im seperti ini tidaklah asing dan menjadi argumentasi utama kelompok sekuler di Barat saat mengkritisi negara teokrasi di Eropa. Kesalahan utama Na’im adalah menyamakan Islamic State Khilafah dengan teokrasi. Padahal keduanya jauh berbeda.
(1) Khilafah Bukan Teokrasi
Sistem teokrasi yang pernah diterapkan di Eropa pada masa kegelapan dianggap sebagai sistem tirani yang membawa bencana bagi manusia. Para kritikus yang sekaligus pemikir saat itu melihat pangkal persoalannya karena sistem teokrasi menyerahkan kedaulatan di tangan Tuhan. Sementara raja dianggap wakil Tuhan di muka bumi. Artinya, kata-kata , keputusan, kebijakan, dan aturan yang ditetapkan oleh Raja adalah otomatis merupakan kata-kata Tuhan. Karena kata-kata Tuhan , maka keputusan raja tidak pernah keliru. Muncul-lah slogan yang populer pada saat itu "The King can do no wrong" , Raja tidak pernah keliru. Hal tentu saja menutup pintu kritik karena raja selalu menganggap dirinya benar. Ketiadaan kritik inilah yang kemudian membuat raja berpeluang besar menjadi tirani, karena kebijakan yang dia ambil selalu dianggap benar.
Sistem Khilafah sangat berbeda dengan sistem teokrasi yang pernah berkembang di abad kegelapan Eropa. Syaikh Taqiyuddin an Nabhani pendiri Hizbut Tahrir dalam kitabnya Nizhomul hukmi fi al Islam (sistem pemerintah Islam) memberikan gambaran yang jernih tentang perbedaan ini.Sistem Khilafah yang merupakan sistem Islam membedakan antara kedaulatan (as-siayadah) dan kekuasaan (al sultan). As Siyadah (kedaulatan) memang ditangan Asy-syaar’i (pembuat hukum , Allah SWT) , namun kekuasaan (al sultan ) ditangan rakyat. Berbicara tentang kedaulatan (as siyadah) berarti berhubungan dengan siapa yang berhak membuat hukum atau siapa yang menjadi sumber hukum (source of legislation). Dalam Islam yang menjadi sumber hukum adalah syaari’ yakni Allah SWT yang kemudian menurunkan Al Qur’an dan as Sunnah sebagai sumber hukum yang wajib diikuti oleh kaum muslimin.
Dalam Islam kata-kata, kebijakan, atau aturan yang ditetapkan oleh Khalifah bukanlah otomatis kata-kata Tuhan yang kemudian mutlak harus dipatuhi dan tidak boleh dikritik. Rosullah saw sendiri mengatakan : "tiada ketaatan kepada manusia dalam maksiat kapada Allah swt". Karena itu, Khalifah saat mengambil keputusan tetap harus merujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah. Artinya, keputusan Khalifah baru boleh ditaati kalau itu memang merujuk kepada Al Qur’an dan Sunnah. Kalau tidak, ya tidak boleh ditaati. Karena itulah dalam Islam ada kewajiban mengkoreksi penguasa (khalifah ) yang dikenal dengan konsep muhasabah lil hukkam. Bahkan Islam menempatkan derajat yang tinggi bagi aktifitas untuk mengkoreksi penguasa ini. Dalam hadits disebutkan : "Sebaik-baik jihad adalah melontarkan kata-kata yang hak di depan penguasa yang jair/zholim (kejam)". Mereka yang harus terbunuh karena mengkoreksi penguasa yang keliru bahkan diberi gelar sayyiudusysyuhada (pemimpin para syahid).
Adanya kewajiban untuk mengkoreksi penguasa (Khalifah ) yang keliru ini justru menunjukkan adanya peluang Khalifah untuk berbuat salah sekaligus menunjukkan kata-kata Khalifah tidak otomatis benar. Sehingga anggapan Khalifah tidak boleh dikritik adalah keliru. Inipulah yang membedakan dengan sistem teokrasi, dimana kata-kata raja dianggap otomatis kata-kata Tuhan.
Sementara berbicara tentang kekuasaan (al Sultan) berarti berbicara tentang siapa yang menjadi sumber kekuasaan (source of legislation) yang berhak untuk memilih dan mengangkat penguasa Khalifah . Dalam sistem Islam yang berhak memilih dan mengangkat Khalifah adalah rakyat. Karena itu rakyatlah yang berhak memilih Khalifah secara berdasarkan pilihannya dan keridhoannya (ikhtiar wa ridho). Hal ini jelas berbeda dengan sistem sistem teokrasi, dimana raja bukan dipilih oleh rakyat tapi diwariskan.
Kritik lain yang sering dilontarkan kepada sistem Khilafah adalah tidak adanya mekanisme kritik dan pertanggungjawaban. Hal ini juga menunjukkan ketidakmengertian tentang sistem Khilafah. Kalau ada kewajiban mengkritik penguasa jelas sebagai sebuah sistem politik yang praktis Islam juga memberikan mekanisme kritik ini sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rosulullah saw dan sahabat-sahabatnya. Mekanisme yang pertama, koreksi bisa dilakukan secara individual atau kelompok (partai politik). Rosulullah saw sendiri pernah dikritik oleh sahabat-sahabatnya berkaitan dengan kebijakannya dalam perjanjian Hudaibiyah, Abu Bakar r.a saat menjadi Khalifah pernah secara langsung dikritik oleh Umar bin Khottob dalam kebijakannya memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Umar bin Khattob menerima secara lapang dada kritikan seorang wanita di depan umum berkaitan dengan mahar perkawinan.
Mekanisme ke dua lewat wakil rakyat (majelis ummah) yang dipilih langsung oleh rakyat sebagai representasi kelompok-kelompok masyarakat. Anggota majelis ummah ini berhak secara langsung mengajukan kritik, masukan, kepada Khalifah berkaitan dengan kebijakan-kebijakannya yang tidak menguntungkan rakyat. Mekanime ketiga, rakyat yang tidak puas akan kebijakan Khalifah bisa mengajukannya ke Mahkamah Madzholim, pengadilan yang memutuskan perselisihan antara rakyat dan penguasa (khalifah ). Tentu saja Khalifah harus tunduk kepada keputusan mahkamah ini.
Muncul pula pertanyaan, bagaimana kalau Khalifah tidak mau mendengar kritik rakyatnya dan tidak pula mau mentaati keputusan mahkamah ini ? Rakyat boleh turun tangan secara langsung untuk menjatuhkan Khalifah karena tidak taat kepada aturan Allah swt. Bahkan kalau penyimpangan Khalifah sampai pada batas yang menunjukkan penentangannya secara nyata terhadap hukum-hukum Islam, rakyat boleh angkat senjata (menggunakan kekerasan) untuk menjatuhkan Khalifah . Inilah yang pernah ditanyakan para sahabat kepada Rosulullah, apakah rakyat boleh angkat senjata (mengangkat pedang), Rosul memberikan batasan boleh memang khalifah tersebut telah menunjukkan kekufuran yang nyata.
Walhasil, kekhawatiran Na’im tentang Negara Islam adalah tidak perlu, sebab perdebatan/koreksi/muhasabah/musyawarah adalah hal yang biasa dalam Islam : kasus pernjanjian Hudaibiyah (perkara wahyu; tidak mengikuti pendapat mayoritas); perang uhud (perkara praktis teknis mengikuti pendapat mayoritas ); kasus perang badar (masalah keahlian mengikuti pendapat pakar/ahli Hubab bin Mundzir) Koreksi Umar bin Khottob terhadap Abu Bakar (kasus memerangi orang murtad); koreksi Bilal terhadap Kholifah Umar bin Khoththob ra dalam masalah pembagian tanah Irak; koreksi seorang wanita terhadap Umar atas penetapan mahar tidak boleh lebih dari empat ratus Dirham; koreksi Ali bin Abi Thalib ra terhadap perkataan Kholifah Ustman bin Affan mengenai kesempurnaan haji dan umroh .
(2) Pemisahan otoritas politik dan agama
Argumentasi Nai’m yang lain untuk menolak penerapan syariah Islam oleh negara adalah keharusan memisahkan otoritas politik dan otoritas keagamaan. Menurutnya, klaim oposisi terhadap otoritas politik hanya bisa didasarkan pada penilaian manusia yang bisa dinilai oleh lain, sementara oposisi terhadap kepemimpinan agama memerlukan otoritas ketuhanan (halaman 89). Nua’im mengambil contoh tindakan Abu Bakar ra ketika memerangi yang tidak membayar zakat jelas-jelas politik , bukan agama (halaman 90)
Lagi-lagi pandangan ini muncul dari ide sekuler yang memisahkan agama sekedar moralitas ,ritual dan individual dengan politik (yang otoritasnya diserahkan kepada manusia). Sementara Islam sebagai agama yang komprehensif mengatur semua aspek kehidupan termasuk politik, ekonomi, pendidikan dll. Kerancuan tentang Islam ini tampak dari pernyataan Na’im dalam diskusi bahwa Islam sekedar agama (religion) seperti kristen. Padahal Islam tidaklah sama dengan ajaran kristen. Ajaran Islam mengatur seluruh aspek kehidupan mulai dari individual, moralitas hingga persoalan mua’malah seperti ekonomi dan politik.Ajaran kristen hanya memiliki nilai-nilai moral seperti kejujuran , keadilan, amanah.
Sementara ajaran Islam memiliki aturan praktis tentang kehidupan. Islam dalam bidang ekonomi misalnya mengatur tentang masalah mata uang (wajib berbasis emas), Islam juga secara praktis mengatur masalah pertanahan (kewajiban menghidupkan tanah, apabila selama tiga tahun tidak dikelola, negara akan memberikan kepada yang mau mengelolanya), bentuk-bentuk kerjasama ekonomi juga diatur secara praktis dalam pembahasan syirkah. Hal seperti ini diakui secara jujur oleh banyak intelektual Barat seperti sejarawan Philip K. Hitti.Dia manulis : " The term Islam may be used in three sense : originally a religion, Islam later became a state, and finallya a culture" (Philip K. Hitti, History of Arab). Hal yang senada disampaikan Carleton , dia menulis: " Peradaban Islam merupakan peradaban terbesar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan negara adi daya dunia (superstate) terbentang dari satu samudera ke samudera yang lain; dari iklim utara hingga tropis dengan ratusan juta orang di dalamnya , dengan perbedaan kepercayaan dan suku (Carleton : " Technology, Business, and Our Way of Life: What Next)
Tindakan Kholifah Abu Bakar ra ketika memerangi orang yang tidak membayar zakat, memang benar merupakan tindakan politik sebagai kepala negara yang harus menjaga keutuhan negara Islam. Akan tetapi bukan berarti tindakannya tersebut terpisah dari agama, justru tindakan politik tersebut di dasarkan agama, tentang kewajiban kepala negara untuk menjaga aqidah umat dan memerangi seorang muslim yang ingkar terhadap aturan Allah SWT. Bahwa hal ini berhubungan dengan agama tampak dari pernyataan Abu Bakar ra : "Demi Allah, sesungguhnya aku akan memerangi orang-orang yang memisahkan shalat dengan zakat. Sesungguhnya zakat adalah hak harta. Demi Allah, seandainya sekelompok orang tidak mau membayar zakat kepadaku, padahal dulu mereka membayarnya kepda Rosulullah SAW, aku benar-benar akan memerangi mereka karena ketidakmauan itu," (Imam al Bukhori dan Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari Abu Hurairah)
HUBUNGAN SYARIAH DAN NEGARA
Keberatan an Na’im tentang negara Islam adalah adanya perbedaan di dalam memahami syariah Islam di kalangan kaum muslim. Adanya perbedaan ini menurutnya akan menyulitkan negara untuk menerapkan syariah, pendapat siapa yang akan dipakai oleh negara ? Siapa yang memilik otoritas ?
(1) Syariah Memang Pemahaman
Awal perbedaan ini menurut Na’im muncul akibat relativisme dalam memahami Islam. Sifat yang melekat pada syariah merupakan produk interpretasi manusia terhadap Al Qur’an dan Sunnah nabi (halaman 55) Usaha apapun untuk mengidentifikasikan atau mendiskripsikan Islam yang ideal kepada orang lain selalu terhambat keterbatasan dan kemungkinan untuk berbuat salah (halaman 81)
Sepertinya pendapat an Naim ini ada benarnya. Namun tidak sepenuhnya benar. Memang benar, istinbat(penggalian) hukum adalah pemahaman manusia terhadap Al Qur’an dan as Sunnah, namun bukan berarti sembarangan pemahaman manusia Memahami Al Qur’an dan As Sunnah haruslah melalui pemahaman syar’i (fahman tasyri’iyan) bukan yang lain seperti logika mantik atau filsafat. Bukan pula pemahaman yang didasarkan kepada nilai-nilai ham, demokrasi, atau plurasime. Namun fahman tasyri’iyan harus merujuk kepada sumber hukum yang absah : Al Qur’an dan Sunnah (plus Qiyas dan Ijma’ Sahabat; Fahman tasyri’iyan juga harus merujuk pada metode absah yang disusun oleh ulama (ulumul Qur’an, Ushul Fiqh, ulumul Hadits dll) yang bisa dipertanggungjawabkan secara syar’i. Sehingga kalaupun ada perkara yang baru, haruslah dilakukan pemecahan masalahnya dengan cara ijtihad yang bisa dipertanggungjawabkan secara syar’i. Demikian juga kalau ada yang memunculkan kaedah-kaedah ushul baru haruslah tetap merujuk kepada hukum syara’ bukan yang lain.
Penting juga dipahami, fahman tasyri’iyan bukanlah berarti selalu relatif , karena merupakan pemahaman manusia. Namun fahman tasyri’iyan ada yang qoth’i (pasti) dan yang juga yang dzonny tergantung kepada jenis dalilnya. Kalau dalilnya qoth’i maka tidak boleh ada perbedaan di dalamnya. Sebagai contoh tentang kewajiban sholat dhuhur, wajibnya shaum di bulan ramadhan wajibnya potong tangan bagi pencuri,
adalah perkara yang qoth’i (pasti). Dalam perkaranya, tidak boleh ada ijtihad, ulama ushul menyusun kaedah "la ijtihada ’inda wurudinnash" (tidak ada ijtihad kalau nash-nya sudah jelas). Jadi adalah keliru kalau Na’im menganggap bahwa semua syariah Islam itu relatif, kemudian menyebabkan hal itu tidak bisa diterapkan oleh negara.
Meskipun demikian , fahman tasyri’iyan bukan berarti menegasikan kemungkinan ada perbedaan. Dalam perkara yang dzonni , sangat memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat. Namun perbedaan pendapat ini harus muncul dari fahman tasyri’iyan bukan karena filsafat atau logika mantik. Bisa jadi muncul dari mantuq (teks) nya yang mengandung lafadz musytarak (ganda), atau muncul dari mafhum (pemahaman) dari lafadz (teks). Perbedaan bisa juga muncul ketika menetapkan status hadits apakah shohih atau tidak. Inilah yang dimaksud perbedaan yang sah secara syar’i.
(2) Masalah Otoritas
Untuk memperkuat argumentasinya menolak pengaturan negara berdasarkan syariah Islam, Na’im menyatakan . Prinsip syariah ditetapkan melalui konsensus ijma’ ulama bukan otoritas negara (otoritas institusional, baik resmi ataupun bukan)— (halaman 55) . Pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Dalam Islam , masalah otoritas tergantung bidang sholahiyat (kewenangannya) . Pertama, oritas As Syaari’ (pembuat hukum), dalam hal ini hanyalah hanya Allah SWT, dari sini kemudian muncul dua sumber hukum utama yaitu al Qur’an dan as Sunnah. Kedua, Otoritas Rosulullah saw adalah sebagai Rosul (tidak bisa diwakilkan siapapun) dan Rosulullah saw juga sebagai kepala Negara ; Sementara Kholifah hanya melanjutkan Otoritas Rosulullah sebagai kepala negara bukan sebagai Rosul. Ketiga, berkaitan dengan istinbat (menggali) hukum maka para mujtahid-lah (Imam Madzhab) yang memiliki otoritas— pendapatnya kemudian bisa diadopsi oleh individu, kelompok atau negara .Keempat, berkaitan dengan tanfidz hukum oleh negara. – Kepala Negara-lah (Imam Negara/Kholifah) yang memiliki otoritas yang sah untuk melakukan proses tabbanni (penetapan) hukum. Karena itu, kalau Kholifah mujtahid , dia boleh berijtihad sendiri. Kalau tidak dia bisa mengambil salah satu pendapat dari pendapat mujtahid yang ada. Kalau Kholifah telah menetapkannya, maka hukum itulah yang berlaku, meskipun berbeda dengan pendapat mujtahid yang lain. Hukum yang ditetapkan oleh Kholifah selama masih merujuk kepada hukum syara’ wajib ditaati oleh siapapun (prinsip amrul imam yarfa’ul khilaf)
Namun perlu dicatat, Kholifah hanya mentabbani persoalan-persoalan publik (seperti ekonomi, politik, pendidikan dll) yang memang membutuhkan satu pendapat hukum . Sementara itu dalam persoalan ibadah mahdhoh, terserah kepada masyarakat pendapat Imam Mazhab mana yang diambil.Kecuali dalam penetapan a’idul fitri , aidhul adha, dan jihad. Dengan demikian negara tidak boleh memaksakan pendapatnya dalam perkara ibadah mahdhoh seperti apakah menggunakan qunut atau tidak. Catatan penting lain , meskipun dalam konteks negara Kholifah-lah yang punya wewenang untuk menetapkan hukum dari salah satu pendapat mujtahid . Namun bukan berarti munculnya wacana intelektual atau perdebatan hukum dikalangan ulama /imam madzhab/mujtahid dilarang. Tidak heran, kalau secara historis pendapat para imam madzhab terus berkembang, meskipun terkadang dalam masalah tertentu Kholifah mengambil pendapat salah satu mujtahid.
Tentang adanya otoritas Kholifah ini didasarkan kepada Al Qur’an (kewajiban taat kepada ulil amri) dan ijma’ shohabat . Kholifah Abu Bakar ra. tetap memerangi pihak yang tidak membayar zakat; meskipun sahabat berbeda pendapat dalam masalah itu . Setelah ditetapkan oleh Kholifah, sahabat yang lain pun tunduk. Termasuk Umar bin Khoththob ra, yang tadinya mengkritik Kholifah Abu Bakar ra. Tampak dari pernyataan Umar ra : Demi Allah itu tidak lain bahwa Allah telah mencerahkan dada Abu Bakar dan aku pun mengetahui bahwa itu adalah benar. Tidaklah pula mengheran kalau Umar bin Khottob mengambil istinbat hukum yang berbeda dengan Abu Bakar ra , saat dia menjadi Kholifah. Kholifah Abu Bakar telah menyamakan distribusi tunjangan kepada kaum muslim ; saat Umar jadi Kholifah membedakannya : Pernyataan Umar ra "Sesungguhnya Abu Bakar ra memiliki pendapat berkaitan dengan harta ini, aku memiliki pendapat lain… apa pendapat kalian ? Jawab mereka : Laksanakanlah pendapatmu itu, sesungguhnya engkau insya Allah adalah orang yang diberi petunjuk (Abu Yusuf dalam kitab Al Kharaj) .
Dengan demikian, ada perbedaan pendapat dalam Islam tidaklah bisa dijadikan penghalang untuk menerapkan syariah Islam. Sama halnya dengan sistem demokrasi meskipun ada perbedaan pendapat dalam prihal memilih presiden misalnya apakah langsung atau lewat parlemen, tentu saja tidak bisa dijadikan argumentasi untuk menolak sistem demokrasi. Yang berbeda adalah otoritas yang menetapkannya.
PRIHAL SEJARAH
Dalam diskusi di Bandung Na’im menolak habis-habisan sistem Khilafah. Pendapat ini juga secara terbuka disampaikan dalam bukunya "Who Need an Islamic State ? " . Menurutnya Khilafah adalah sekedar romantisme. Tidak ada kebaikan yang didapat dalam sistem Khilafah. Hal sama ditulis Na’im dalam bukunya : saya lebih tertarik dengan Islam yang dipraktikkan dan dipahami oleh ummatnya bukan Islam yang ada dalam tataran ideal dan berbentuk abstrak. Tidak mengherankan saat an Na’im menolak sistem Khilafah dia banyak merujuk kepada sejarah. Namun, disisi lain dia mengakui bahwa bahwa tidak ada seorang pun yang netral dan objektif terhadap sejarah Islam dan sejarah lainnya (halaman 83). Karena sejarah tidak obyektif akan sangat sulit menjadikan sejarah menjadi pembahasan yang argumentatif, sebagaimana yang digagas oleh Na’im.
(1) Sejarah bukan Sumber Hukum
Salah satu argumentasi yang kerap dilontarkan untuk menolak sistem Khilafah adalah alasan sejarah. Sejarah Khilafah digambarkan sebagai fragmen kehidupan yang penuh darah, kekacauan dan konflik. Paling tidak ada tiga argumentasi sejarah yang dilontarkan: (1) Khalifah merupakan sistem otoriter dan diktator; (2) Pembunuhan yang tejadi dimasa Khulafuur-rosyidin; (3) Perlakuan terhadap non muslim dan wanita. Berdasarkan fakta sejarah ini kemudian disimpulkan bahwa sistem Khilafah adalah sistem yang tidak layak bagi manusia. Sistem ini pun dituduh sebagai sistem yang diktator, tidak memiliki mekanisme untuk mencegah penyimpangan dan kekacauan. Sistem inipun dituduh tidak memperhatikan non muslim dan merendahkan derajat wanita.
Secara mendasar ada beberapa kesalahan mendasar dari argumentasi diatas. Pertama, dalam menempatkan posisi sejarah Islam. Perlu kita ketahui bahwa kewajiban Khilafah bukanlah didasarkan kepada argumentasi sejarah. Artinya, sejarah bukanlah dalil untuk menerima atau menolak sistem Khilafah. Dalam Islam , yang menjadi dalil syara’ adalah al Qur’an , as Sunnah, Ijma’ Sahabat dan Qiyas. Karena itu kewajiban Khilafah haruslah merujuk kepada empat dalil tersebut.
Namun bukan berarti sejarah (tarikh) tidak ada artinya sama sekali. Sejarah sebagai peristiwa masa lampau bisa dijadikan pelajaran dan kajian tentang pelaksanaan dari hukum-hukum syara oleh manusia. Artinya, dari sejarah kita mengetahui apakah hukum syara tersebut dilaksanakan atau tidak, kita juga tahu bahwa apa akibat kalau hukum-hukum syara tersebut tidak dilaksanakan. Sebab bagaimanapun manusia sebagai pelaku hukum-hukum syara bukanlah ma’sum (yang tidak mungkin salah). Sebagai manusia bisa saja Khalifah melakukan kekeliruan dalam pengertian menyimpang dari batasan-batasan hukum syara’. Satu-satunya yang ma’sum yang tidak mungkin keliru adalah para nabi dan Rosululullah.
Sebagai sistem yang dipraktekkan oleh manusia sistem Khilafah adalah sistem politik yang manusiawi. Karena itu dalam berbagai praktek dalam sistem Khilafah, bisa saja terjadi kekeliruan. Namun yang penting disini dicatat disini adalah kalau penyimpangan yang dilakukan oleh Khalifah atau pejabat negara, bukan berarti kemudian sistem Khilafahnya yang salah dan keliru. Tapi pelaksanaan dari orang-orangnya. Adalah tidak relevan menyalahkan sistem yang ideal dengan melihat kesalahan dari pelaku sistem yang ideal tersebut.
Contoh sederhana adalah keliru menyimpulkan Islam kalau melihat prilaku orang-orang Islam saat ini. Di Indonesia misalnya, sebagai besar pelaku kriminal adalah orang Islam, banyak pelaku korupsi juga orang Islam, harus diakui banyak orang Islam yang tidak menjaga kebersihan dan lingkungannya. Namun, tentunya tidak disimpulkan- dengan hanya melihat kelakuan dari orang-orang Islam tersebut- bahwa Islam adalah agama yang menganjurkan pemeluknya melakukan kejahatan seperti itu.
Untuk menilai Islam haruslah dilihat bagaimana sumber-sumber Islam dalam hal ini syariah Islam mengatur dan menjelaskan persoalan tersebut. Tidak ada satu dalilpun di dalam Al Quran dan Sunnah yang memerintahkan seperti itu. Justru sistem Islam melarang dan menghukum para pelaku kriminal dan korupsi. Islam juga mengajarkan pemeluknya untuk menjaga kebersihan lingkungan. Artinya, fakta-fakta yang salah tersebut justru diakibatkan karena pemeluk Islam meninggalkan ajaran Islam yakni syariah Islam tentang perkara tersebut. Bukan karena syariah Islam itu sendiri. Sama halnya dengan fakta-fakta buruk dalam sistem Khilafah, bukan disebabkan oleh sistem Khilafah itu sendiri. Tapi justru bentuk penyimpangn dari syariah Islam yang seharusnya diterapkan secara konsekuen dalam sistem Khilafah oleh rakyat dan penguasanya.
Sebagai contoh, ketika Muawiyah memaksa rakyat untuk membait anaknya Yazid sebagai Khalifah, merupakan bentuk penyimpangan dari syariah Islam. Sebab dalam Islam Khalifah adalah hasil pilihan rakyat dan kerelaan rakyat (ikhtiar wa ridho). Jadi yang menyimpang adalah tindakan Muawiyahnya bukan sistem Khilafahnya. Sehingga tiidak bisa kemudian dikatakan bahwa sistem Khilafah adalah sistem yang otoriter berdasarkan sejarah di era muawiyah ini.
Kesalahan kedua adalah, terjebak pada generalisasi. Menyimpulkan sistem khilafah adalah sistem yang buruk hanya dengan mengungkap beberapa fakta sejarah adalah keliru. Beberapa fakta sejarah tentang sikap Khalifah tidaklah kemudian bisa mencerminkan keseluruhan dari sistem Khilafah tersebut. Apalagi yang dilakukan oleh Khalifah tersebut adalah bentuk penyimpangan dari sistem Khilafah yang ideal. Adalah keliru menggambarkan masa pemerintahan Bani Umayyah dengah hanya memfokuskan sejarah seorang Yazid. Atau menggambarkan masa pemerintahan Bani Abbas hanya dengan mengambil sebagian peristiwa dan tingkah laku para Khalifahnya. Apalagi yang menjadi fakta sejarah itu adalah buku-buku sejarah yang dibuat oleh musuh-musuh Islam yang nyata kebenciannya terhadap Islam
Sama halnya kita adalah keliru menggambarkan pemerintahan Bani Abbas dengan membaca kitab Al Aghani yang dikarang untuk menceritakan tingkah laku para biduan, para pemabuk, penyair,dan sastrawan atau membaca buku-buku tasawuf yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Yang perlu diperhatikan cerita-cerita tentang para penguasa dan pejabatnya banyak ditulis oleh pihak-pihak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebagian besar mereka adalah pencela atau pemuja yang tidak bisa diterima periwayatannya.
Sumber sejarah yang bisa diterima adalah yang bisa dipertanggungjawabkan periwayatnya sehingga sumber-sumbernya layak diterima. Persis sama dengan cara yang ditempuh dalam periwayatan hadits. Cara penulisan seperti ini (yang periwayatan yang bisa dipertanggungjawabkan) bisa dilihat dalam kitab tarikh Tabari dan Siroh Ibnu Hisyam.
Kesalahan ketiga adalah saat menjadikan sistem demokrasi sebagai standar untuk menilai baik dan buruknya Khalifah atau sistem Khilafah. Sistem Khilafah tidak bisa dinilai dari paradigma baik dan buruk menurut sistem demokrasi. Apalagi dengan asumsi kalau itu tidak sesuai dengan sistem demokrasi berarti sistem itu adalah diktator, otoriter dan jelek. Padahal sistem demokrasi sendiri adalah sistem yang buruk yang tidak layak dijadikan sebagai standar untuk menilai baik dan buruk bagi kaum muslim. Yang harus dijadikan standar, sekali lagi adalah syariah Islam.
Dengan asumsi kalau berbeda dengan demokrasi adalah diktator atau otoriter , maka banyak yang keliru menyimpulkan sistem khilafah itu adalah diktator dan otoriter. Padahal standar yang digunakan ini jelas keliru. Sebagai contoh, dalam sistem demokrasi , sebuah sistem dikatakan baik kalau menganut asas trias politika. Berdasarkan asas ini, harus dipisahkan tiga fungsi dalam sistem politik (legislatif, yudikasi, dan eksekutif). Alasannya, kalau tiga fungsi ini tertumpu pada satu orang seperti dalam sistem Teokrasi di Eropa, penguasa itu akan cendrung menjadi diktator.
Sementara dalam sistem Khilafah, Khalifah selain sebagai eksekutif (pelaksana pemerintahan), dia juga memiliki wewenang sebagai yudikatif untuk mengadili pelanggaran di tengah masyarakat. Jelas kalau berdasarkan cara pandang demokrasi ini, sistem Khilafah ini berarti otoriter atau diktator.
Apalagi muncul kesalahan saat menganggap Khalifah juga memiliki fungsi legislasi seperti sistem teokrasi, yang menganggap suara raja adalah suara Tuhan. Sehingga kata-kata raja adalah kebenaran itu sendiri. Karena itu raja tidak pernah salah. Kemudian disimpulkan sistem Khilafah akan sama kondisinya dengan sistem teokrasi yang memunculkan penguasa yang diktator dan otoriter.
Menyamakan sistem Khilafah dengan teokrasi seperti ini adalah keliru. Sebab, kata-kata Khalifah bukanlah otomatis kata-kata Tuhan yang pasti benar. Khalifah dalam keputusan dan kebijakannya tetap harus merujuk kepada hukum syara’. Karena itu, Khalifah sangat mungkin salah dan menyimpang dari hukum syara. Untuk itu, Islam mewajibkan untuk melakukan koreksi terhadap penguasa (muhasabah lil hukkam) yang menyimpang dari hukum syara’. Ada kewajiban koreksi ini jelas menunjukan bahwa Islam melihat kemungkinan bahwa Khalifah itu keliru. Kalau kata-kata Khalifah selalu benar, untuk apa Islam mewajibankan mengkoreksi penguasa yang menyimpang ?
Kesalahan keempat adalah saat menyimpulkan bahwa Khilafah tidak memiliki sistem tertentu dengan melihat terjadinya konflik, pembunuhan atau kekecauan di beberapa bagian dari sejarah Khilafah. Seperti terjadinya pembunuhan terhadap Khalifah. Kemudian dengan sederhana menyimpulkan karena ada pembunuhan terhadap kepala negara berarti tidak ada mekanisme politik yang menjamin keamanan kepala negara dan masyarakatnya. Padahal seharusnya kita harus meneliti lebih mendalam apakah hal tersebut terjadi karena ketidakmampuan sistem idealnya atau karena penyimpangan dari sistem ideal tersebut. Apa yang terjadi dalam konflik-konflik berdarah dalam Islam, justru karena menyimpang dari sistem ideal Islam yakni syariah Islam, bukan karena akibat penerapan syariat Islam itu sendiri
Untuk menilai apakah tidak ada sistem untuk mencegah itu seharusnya yang dijadikan rujukan adalah sumber sistem itu, dalam hal ini adalah syariah Islam. Dalam hal ini syariah Islam jelas memiliki cara untuk mencegah dan menangani konflik tersebut.
Kalau semata-mata ada kekecauan dan pembunuhan, kenapa tidak dikatakan bahwa sistem demokrasi tidak memiliki sistem ? Padahal pembunuhan kepala negara, politikus, juga terjadi dalam sejarah sistem demokrasi seperti di Amerika Serikat dan Eropa . Sejarah negara-negara demokrasi, seperti halnya sejarah Khilafah Islam, bukanlah tanpa konflik. AS yang sering diklaim sebagai kampiun demokrasi pernah mengalami perang saudara yang berdarah-darah. Kalau pembunuhan terhadap Khalifah sebagai kepala negara menjadi soroton, apakah AS sepi dari hal itu ? Bagaimana dengan pembunuhan terhadap Kennedy, percobaan pembunuhan terhadap Reagen dan pemimpin-pemimpin politik AS lainnya.
Revolusi Perancis sebagai peristiwa penting demokrasi juga penuh darah. Runtuhnya negara komunis yang kemudian berubah menjadi negara demokrasi, penuh dengan pertumpahan darah dan konflik seperti yang terjadi di Balkan saat ini. Hal ini secara mendalam dibahas Jack Snyder dalam From Voting to Violence yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah (Jakarta: KPG, 2003).
(2) Mekanisme Islam Mencegah Penyimpangan Khalifah
Dalam syariat Islam, sudah ada mekanisme yang kalau itu diterapkan akan mencegah konflik. Secara garis besar misalnya Islam mengharamkan saling membunuh , saling mendzolimi antara penguasa dan rakyat, kewajiban menjaga persatuan, dan keharaman bughot (memberontak). Secara lebih rinci Islam juga mengatur bagaimana mencegah penyimpangan Khalifah, antara lain :
Pertama, membangun Kesadaran Politik masyarakat. Dalam sistem apapun, penerapan sistem itu tergantung dengan orang-orangnya. Terjadinya kemunduran dalam masyarakat Islam disebabkan karena buruknya penerapan Islam ditengah masyarakat. Karena itu pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk menjalankan sistem Khilafah secara konsisten adalah sangat penting untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Lemahnya kesadaran masyarakat akan membuat terjadinya penyimpangan. Karena itu, dalam sistem Khilafah , upaya membangun dan memelihara kesadaran masyarakat tentang Islam adalah sangat penting. Adalah tugas negara untuk melakukan pendidikan politik Islam di tengah masyarakat. Partai Politik Islam juga bertanggung jawab untuk membina kesadaran politik Islam ditengah masyarakat, dengan melakukan pembinaan politik di tengah masyarakat (tasqiif jama’i) . Inilah langkah mendasar yang dilakukan untuk mencegah penyimpang Khalifah. Lewat kesadaran politik Islam ini, masyarakat akan tetap konsisten memelihara sistem Khilafah dan tidak membiarkan sedikitpun penyimpangan terhadap syariah Islam yang dilakukan oleh Khalifah.
Kedua, Khalifah dipilih dengan ikhtiar wa ridho. Di dalam Islam Khalifah adalah pilihan rakyat yang dilakukan bukan dalam kondidi tertekan. Karena itu rakyat tidak boleh dipaksa untuk memilih seseorang yang tidak dia senangi. Langkah ini tentu saja bisa mencegah munculnya penguasa dzolim yang diketahui oleh rakyat memiliki tingkah laku yan buruk.
Ketiga, Kewajiban Mengkoreksi Penguasa. Untuk mencegah penyimpangan penguasa, Islam memerintahkan untuk melakukan muhasabah lil hukkam (mengkoreksi penguasa) seperti yang ditegaskan dalam QS Ali Imron: 3. Dalam Islam kedudukan mengkoreksi penguasa yang menyimpang mensejajarkan dengan pemimpin para syuhada dan menyebutkannya sebaik-baik jihad. Islam juga mengingatkan tidak adanya koreksi terhadap penguasa akan membahayakan umat Islam secara keseluruhan. Koreksi ini bisa dilakukan secara terorganisir oleh partai politik-partai politik yang bebas berdiri dalam sistem Khilafah. Bisa juga dilakukan secara individual. Tugas ini juga dilakukan oleh wakil-wakil rakyat di Majelis Umah yang sentiasa memperjuangkan aspirasi rakyatnya.
Keempat, keberadaan Mahkamah Madzolim yang mengadili perselisihan antara rakyat dan penguasa (Khalifah). Dalam hal ini Qodhi (hakim) dalam mahkamah ini menetapkan telah terjadinya kedzoliman terhadap rakyat dan memerintahkan Khalifah untuk menghilangkan kedzoliman yang membuat rakyat menderita tersebut. Khalifah juga memiliki wewenang untuk memberhentikan Khalifah yang dianggap telah melakakukan pelanggaran yang menyebabnya dia harus diberhentikan sebagai khalifah.
Kelima, Memerangi Khalifah. Kalau proses muhasabah , demikian juga mahkamah madzolim tidak berjalan, dalam hal ini rakyat berhak kemudian mengangkat senjata untuk menurunkan Khalifah. Hanya saja syaratnya adalah bahwa Khalifah tersebut terbukti telah melakukan kekufuran yang nyata (kufron bawahan) seperti menolak syariat Islam dan menggantikannya dengan sistem kufur yang lain. Bisa disebut inilah benteng terakhir untuk mencegah munculnya penguasa yang dzolim.
Lima mekanisme diatas kalau benar-benar dijalankan tentu akan mencegah munculnya penguasa yang dzolim yang mensengsarakan rakyat. Artinya, terjadinya penyimpangan bisa jadi disebabkan karena kelima mekanisme diatas tidak berjalan dengan baik. Kalau seperti ini terjadi bukan sistem Khilafah nya yang salah ,tapi orang-orang yang melaksanakan sistem ini. Sistem se-ideal apapun kalau tidak dilaksanakan oleh orang-orangnya secara konsekuen tentu saja akan menyebabkan kekacauan.
(3) Keberhasilan Sistem Khilafah
Menutup mata terhadap keberhasilan sistem Khilafah adalah kebodohan yang nyata. Siapapun kalau berpikir objektif akan melihat keberhasilan dari sistem ini saat dijalankan secara benar. Hal ini tidak bisa dipungkiri. Sistem Khilafah yang mengemban qiyadiah fikriyah (kepemimpinan berpikir) Islam di seluruh dunia telah berhasil mengubah bangsa Arab secara keseluruhan dari yang memiliki taraf berpikir yang rendah (fanatisme kesukuan dan kebodohan) menjadi bangsa yang terpandang, bahkan diseluruh dunia.
Sistem Khilafah berhasil membawa kesejahteraan bagi manusia di seluruh dunia, baik muslim maupun non muslim. Sistem Khilafah ini juga memainkan peranan penting dalam membawa Islam keseluruh pelosok dunia lewat dakwah dan jihad. Menyatukan jazirah arab, Parsia, Afrika, sebagian Eropa dan Asia.
Dibawah sistem Khilafah umat Islam menjadi umat yang terkemuka dalam peradabannya, kemajuan sains dan teknologi, dan keilmuannya. Hal ini tercatat dalam tinta emas para sejarawan yang jujur dan obyektif. Terbukti dari banyaknya penemuan-penemuan sains dan teknologi di era kekhilafahan. Termasuk bukti-bukti keilmuan yang tinggi yang bisa dilihat dari banyaknya buku-buku yang bermutu yang dikarang oleh ulama dan ilmuwan muslim yang hingga kini masih bisa dilihat sebagai bukti sejarah yang nyata. Bukti lain adalah peninggalan-peninggalan yang sifatnya fisik yang masih bisa dilihat kemegahannya hingga kini. Masjid-masjid dan bangunan-bangunan yang dibangun dimasa kekekhilafahan di Kardoba, Turki, Timur Tengah masih bisa disaksikan hingga saat ini.
Demikian membekasnya Islam yang dulu disebarkan Daulah Khilafah ke seluruh dunia. Hingga saat ini meskipun umat Islam telah kehilangan Khilafah , namun ideologi Islam masih banyak diemban oleh individu-individu kaum muslimin. Bangsa yang dulunya ditaklukkan lewat peperangan oleh pasukan Khilafah, tidak pernah menganggap Islam sebagai penjajah. Bahkan hingga saat ini penduduknya menjadi pejuang-pejuang Islam yang tidak rela tanahnya dijajah oleh kaum kafir. Kaum muslimin seluruh dunia hingga kini pun masih bersemangat dan berjuang bersama-sama untuk membangun kembali sistem Khilafah agar kembali terwujud di dunia ini.
Keagungan sistem islam ini secara jujur disampaikan Carleton S, Chairman and Chief Executive Officer, Hewlett-Packard Company, saat mengomentari peradaban Islam dari tahun 800 hingga 1600 (masa kekhilafahan), dia menyatakan : " Peradaban Islam merupakan peradaban yang paling besar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan sebuah negara adidaya kontinental (continental super state) yang terbentang dari satu samudra ke samudra lain; dari iklim utara hingga tropik dan gurun dengan ratusan juta orang tinggal di dalamnya, dengan perbedaan kepercayaan dan asal suku….Tenteranya merupakan gabungan dari berbagai bangsa yang melindungi perdamaian dan kemakmuran yang belum dikenal sebelumnya. (Ceramah tanggal 26 September 2001, dengan judul Technology, Business, and Our way of Life: What Next" www. Khilafah com)
BUKAN HAL BARU
Walhasil tidak ada yang baru dari apa yang dikemukan oleh Na’im, meskipun dia menyatakan syariah Islam bisa dijadikan rujukan negara, namun an Nai’im membatasi syariah Islam yang bisa diterima adalah syariah yang sejalan dengan demokrasi, HAM, dan pluralisme. Hal ini jelas akan mengkebiri syariat Islam sebatas nilai-nilai moral atau masalah keluarga dan invidual. Kalau ini terjadi, hukum-hukum sekuler yang selama ini telah membawa penderitaan umat akan tetap terjaga. Artinya, an Na’im dengan ide sekulerisme telah menyuarakan kepentingan penjajah untuk mempertahankan penjajahan lewat ide sekulerisme. Tidak kah kita berpikir justru ide kapitalisme dengan asas sekulerisme-nyalah yang selama ini telah menyebabkan penderitaan masyarakat? sampai kapan ini terjadi. [Farid Wadjdi]

0 Komentar:

Post a Comment

<< Home